Hari Santri: Perjuangan Santri Untuk Kemerdekaan Negeri
Santri merupakan kalangan yang punya kesetiaan pada dua aspek, yakni keagamaan dan kenegaraan. Sejak penjajah merongrong kedaulatan negeri, mereka menjadi pendukung pemerintah yang setia membantu proses kemerdekaan bangsa Indonesia.
Bahkan beberapa pekan setelah proklamasi kemerdekaan, orang-orang Surabaya dan sekitarnya sadar bahwa NICA Belanda datang bersama tentara Sekutu untuk kembali berkuasa di Indonesia. Pada 19 September 1945, misalnya, banyak orang rela mati dalam peristiwa penyobekan bagian biru dari bendera Belanda di Hotel Yamato.
Di antara orang-orang Indonesia yang tidak suka kehadiran militer asing kawan NICA itu terdapat kaum bersarung. Mereka adalah para santri dari pesantren-pesantren tradisional yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
Orang-orang pesantren itu, di masa-masa selanjutnya, kurang diungkap dalam sejarah Revolusi Indonesia. Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang disusun rezim Orde Baru pada pertengahan 1980-an, misalnya, tak memberi banyak tempat untuk perjuangan kaum santri. Narasi besar era Revolusi dalam pelajaran itu didominasi peran tentara.
Sebelum datang Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, kalangan santri merasa tentara asing akan datang dan perang tak bisa dihindarkan. Di Surabaya yang panas pada akhir Oktober 1945, para kiai pun berkumpul. Mereka mantap berdiri di belakang Republik Indonesia. Setidaknya waktu itu Wahid Hasyim, anak dari Rais Akbar NU Kiai Haji Hasyim Asy’ari, adalah Menteri Agama Republik Indonesia sejak September 1945. Hasyim Asy’ari sendiri merupakan ulama besar yang berpengaruh sejak zaman kolonial hingga pendudukan Jepang.
Menurut Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994: 52), wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Maka pada tanggal 22 Oktober 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, lahirlah apa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Dampak Besar Resolusi Jihad
NU menyebut bahwa umat dan ulama di banyak tempat punya hasrat besar untuk menegakkan agama Islam dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Niat itu tertuang dalam pertimbangan Resolusi Jihad bahwa:
“mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.”
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki-tangannya.” Bagi NU, baik Belanda maupun Jepang telah berbuat kezaliman di Indonesia.
Sebelum Oktober 1945 berakhir, pertempuran melawan Jepang sudah terjadi di beberapa tempat selain di Surabaya. Kaum santri juga ikut adu otot melawan tentara asing. Meski tidak punya pasukan yang kemampuan tempurnya setara dengan tentara Jepang, mereka setidaknya memiliki pemuda-pemuda yang siap bertempur yang dilatih selama masa pendudukan.
Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996: 21) menyebut dari NU ada milisi bernama Hizbullah yang dilatih secara militer oleh tentara Jepang. Sementara Hairus Salim dalam Kelompok Paramiliter NU (2004: 47) mencatat bahwa Hizbullah sangat berperan di masa Revolusi.
Resolusi Jihad punya dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan banyak pengikut NU untuk ikut serta dalam Pertempuran 10 November 1945.
Keterlibatan santri-santri NU dalam pertempuran tersebut setidaknya tergambar dalam film Sang Kiai (2013). Dalam film itu, secara fiksional digambarkan bahwa orang yang menembak mati Brigadir Jenderal Mallaby di Jembatan Merah adalah santri NU. Kematian Mallaby itulah yang bikin marah tentara Inggris dan kemudian memicu Pertempuran 10 November 1945.
Pemuda Sutomo alias Bung Tomo bahkan diketahui meminta nasihat kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Bung Tomo dikenal sebagai orator dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membakar semangat arek-arek Surabaya, salah satunya dengan pekikan “Allahu Akbar”.
Setelah pertempuran 10 November 1945 berlalu, Resolusi Jihad terus disuarakan. Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto, seperti disebut di buku Jihad Membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007), Kiai Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar.
“Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan,” kata Kiai Hasyim. Jadi syarat tegaknya syariat Islam adalah kemerdekaan dari penjajah asing. Eksistensi penjajah dianggap Kiai Hasyim akan menyulitkan penegakan syariat Islam.
Dalam film Sang Kiai, Kiai Hasyim yang makin sepuh sangat ingin diajari menembak di zaman Revolusi. Bukan tidak mungkin tentara Belanda akan mencari anaknya yang jadi pejabat Republik. Tapi kesehatannya tidak memungkinkan untuk belajar menembak. Kiai Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada 25 Juli 1947 atau empat hari setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I.
Setelah Kiai Hasyim tutup usia, Hizbullah menjadi salah satu laskar yang terlibat dalam Revolusi Indonesia. Bahkan ada juga bekas milisi Hizbullah yang kemudian bergabung dengan TNI.
Belakangan, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 akhirnya dikenang sebagai Hari Santri Nasional. Presiden Joko Widodo menetapkannya secara resmi pada 2014.
sumber: tirto.id – Sosial Budaya