Kaidah Fikih

Muliakan Santri Karena Tanpa Mereka Kita Belum Tentu Merdeka

Indonesia merasakan berkah kemerdekaan sudah 76 tahun lamanya. Namun tahukah generasi milenial bahwa kemerdekaan diraih oleh para ulama, juga tak lepas dari perjuangan para santri yang sangat luar biasa. Sayangnya Indonesia tak mencatat perjuangan santri dengan baik. Banyak perjuangan tokoh-tokoh Islam yang tak dituliskan dalam buku sejarah.

Santri mempunyai peran penting dalam merebut kemerdekaan Negara Indonesia, terlebih saat ikut perang menumpas sekutu pada 10 November.

Melalui Kyai besar KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945. Semangat para Santri dalam perang meraih kemerdekaan Indonesia semakin kuat.

Fatwa ini antara lain berbunyi:

1)  Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain bagi tiap-tiap orang Islam;

2)  Hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid;

3)  Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini adalah wajib dibunuh.

Melalui corong radionya, pidato Bung Tomo semakin “menggila” dalam menggelorakan semangat rakyatnya, setelah terbitnya Resolusi Jihad. Atas saran KH. Hasyim Asy’ari sewaktu Bung Tomo sowan ke Pesantren Tebuireng, pekik takbir harus senantiasa mengiringi pidato Bung Tomo.

“…Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan  dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstermis. Kita yang memberontak dengan penuh semangat revousi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi. Tuhan akan melindungi kita. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!…”

Kenyataanya, Resolusi Jihad menjadi pegangan spiritual bagi para santri bukan hanya di Surabaya, melainkan di kawasan Jawa dan Madura. Rakyat Surabaya yang telah diultimatum Inggris, nyatanya malah menunggu pecahnya pertempuran.

Dibarengi dengan kesatuan para santri yang berbondong-bondong ke Surabaya. Ultimatum tersebut sama sekali tidak meruntuhkan mental pejuang dan rakyat Surabaya. Malam tanggal 9 November hingga dini hari 10 November tidak ada satupun penduduk kota Surabaya yang tidur. Semua memasang barikade penutup jalan untuk menghambat gerakan musuh.

Namun, di tengah ketegangan malam itu, ratusan pejuang menyemut di Kampung Baluran Gang V. Mereka menunggu arahan dan doa secara langsung dari ulama yang berasal dari Banten, KH. Abbas Djamil. Para santri juga menjadi garda depan pertempuran di Surabaya

Prediksi Inggris meleset jauh, dukungan logistik yang melimpah, alutsista yang modern serta ribuan serdadu ternyata kesulitan menaklukan Surabaya. Prediksi Surabaya dapat dikuasai dalam waktu 3 hari, ternyata pontang-panting Inggris baru bisa merangsek masuk setelah 100 hari pertempuran.

Perang tersebut sangat mengerikan, jauh dari yang dibayangkan pihak Sekutu. Para santri Surabaya menjadi sangat brutal dan ganas dengan pekikan Allahu Akbar.

Persatuan pemuda ini tidak dapat dilepaskan akibat adanya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Masya Allah Tabarakallah ternyata kenyamanan kita hari ini ada perjuangan yang berdarah-darah dari para santri yang mati-matian berjihad mempertahankan kemerdekaan sekaligus mengusir para penjajah yang berniat sekali lagi ingin menjajah negeri ini.

Di era kemerdekaan ini rasa-rasanya sangatlah tepat bila kita memuliakan, melayani dan membahagiakan para santri sebagai wujud syukur dan ungkap terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang dulu sudah dengan ikhlas menyelenggarakan revolusi Jihad… Allahu Akbar…

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close